Hakikat Budaya Organisasi

Bacaan Selanjutnya ...
Budaya Organisasi

Budaya organisasi  menurut John W.   Newstrom (1997)   pola   atas asumsi, kepercayaan,  nilai,     dan  norma     yang  mana  dibagi  kepada  semua  anggota organisasi.  Budaya ini mungkin dengan sadar  dibuat oleh  anggota inti organisasi tersebut, atau ini mungkin terbentuk  seiring perjalanan waktu organisasi tersebut. Ini merepresentasikan   sebuah elemen pokok lingkungan kerja yangmana pekerja melaksanakan  pekerjaan  mereka. Budaya organisasi   adalah sesuatu yang tidak terlihat,  kita  tidak  dapat  melihatnya  atau  menyentuhnya,  tetapi  ini  hadir  dan melekat. Seperti udara di dalam suatu ruangan, ini berada di sekeliling kita dan mempengaruhi  segala sesuatu, itu terjadi  dalam sebuah organisasi.
Budaya organisasi   adalah penting bagi organisasi. Ini memberikan identitas organisasi  untuk  para  pegawai,  yaitu  sebuah  definisi  visi  organisasi.  Ini  juga sumber penting untuk stabilitas dan kontinyuitas organisasi, yang mana menjaga sebuah perasaan aman bagi anggotanya. Dalam waktu yang sama,   pengetahuan budaya organisasi   membantu anggota baru mengiterpetasikan apa yang harus dilakukan di dalam organisasi. Budaya organisasi   juga membantu menstimulasiantusiasme anggota atau pegawai for melaksanakan tugasnya ( John W. Newstrom: 1997).


Ga gasa n   m e m a ndan g   orga nisa si   sebagai   buday a   m e ru p a kan f enomena  yang  relatif   baru.  Organisasi  hampir  mirip  dengan  organisme b i o l ogi y a n g  m e m p un y a i ke p r i ba di a n, b i sa t e ga r ata u fle k si be l , ti da k ram a h  atau  m e nduk ung,  inov ati f  at au  konservat i f  se rt a  m e m p un y a i tujuan  bukannya   bergerak   secara  refleksi   atau  acak.  Suatu   organisasi biasanya memiliki satu atau lebih tujuan yang dinyatakan secara formal, disamping  mempunyai  tujuan informal dan tujuan terselubung  yang dapat dibaca dari keputusan-keputusan  dan tindakan organisasi (Yukl 1998:15).
Terdapat kesepakatan luas bahwa budaya organisasi merujuk kepada suatu sistem pengertian bersama yang dipegang oleh anggota-anggota suatu organisasi, yang membedakan organisasi tersebut dari organisasi lainnya. Sistem pengertian bersama ini, dalam pengamatan yang lebih seksama, merupakan serangkaian karakter penting yang menjadi nilai bagi suatu organisasi (Robbins
2002 : 279)

Me nurut   Ro bbin s   de fini si   buda y a   organisasi  secara  utuh  jarang ditemukan, namun Robbins (1992:279) m e n g e m u k a k a n  tujuh karakter utama, yang kesemuanya menjadi elemen-elemen penting suatu budaya organisasi.

1.     Inovasi dan pengambilan risiko: Tingkat daya pendorong karyawan untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko.
2.     Perhatian  terhadap  detail:  Tingkat  tuntutan  terhadap  karyawan  untuk mampu  memperlihatkan  ketepatan,  analisis,  dan  perhatian  terhadap detail.
3.     Orientasi  terhadap  hasil:  Tingkat  tuntutan  terhadap  manajemen  untuk lebih memusatkan perhatian pada hasil, dibandingkan perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut.
4.     Orientasi  terhadap  individu:  Tingkat  keputusan  manajemen  dalam mempertimbangkan  efek-efek  hasil  terhadap  individu  yang  ada  di dalam organisasi.
5.     Orientasi terhadap tim: Tingkat aktivitas pekerjaan yang diatur dalam tim, bukan secara perorangan.
6.     Agresivitas: Tingkat tuntutan terhadap orang-orang agar berlaku agresif dan bersaing, dan tidak bersikap santai.
7.     Stabilitas: Tingkat penekanan aktivitas organisasi dalam memper- tahankan status quo berbanding pertumbuhan.
Ketujuh karakteristik tersebut berlangsung kontinum dari yang rendah ke yang tinggi. Dengan menilai organisasi berdasarkan  tujuan karakteristik akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi. Gambaran  tersebut menjadi dasar pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi,  bagaimana  menyelesaikan  urusan  di  dalamnya,  dan  harapan  cara anggota berperilaku.
Budaya organisasi berhubungan dengan karyawan mempersepsikan karakteristik   dari   suatu   budaya   organisasi,   bukan   dengan   rnenyukai budaya itu atau tidak. Hal ini perlu ditegaskan agar tidak rancu dengan kepuasan kerja. Oleh karena itu, budaya organisasi bersifat deskriptif.
Menurut   Robbins   (1991:292),   jika   organisasi   tidak   mempunyai budaya dominan dan tersusun hanya dari sangat banyak anak budaya, nilai budaya  suatu  organisasi   sebagai  suatu  variable  dependen   akan  sangat berkurang karena tidak ada penafsiran yang seragam atas sesuatu yang menggambarkan perilaku yang tepat dan tidak tepat.
Budaya   dalam   suatu   organisasi   dianggap   sebagai   sesuatu   y ang abst r a k ,    na m un    bud a y a    organisasi    m e m p un y a i    d i m e ns i    dengan karakteristik   tertentu   yang   dapat   didefinisikan   dan   diukur.   Robbins (1991:573)   berdasar   pendapat   Gordon   &   Cummings   mengungkapkan beberapa dimensi yang membedakan tingkatan budaya suatu organisasi.
a.     Individual   Initiative   (inisiatif   individual),   yaitu  kemampuan   kreativitas, inisiatif atau ketidaktergantungan individu dalam mengembangkan tugas- tugasnya dalam organisasi.
b.     Risk tolerance  (toleransi  terhadap  tindakan  beresiko),  adalah  sejauh  mana para   pegawai   dianjurkan   untuk   bertindak   agresif,   inovatif   dan   berani mengambil resiko.
c.     Direction (pengarahan),  yaitu arah yang diinginkan organisasi dengan menciptakan   atau  menentukan   tujuan  atau  sasaran  secara  jelas  dan harapan untuk mencapai prestasi.
d.     Integration  (pengintegrasian),  ialah tingkat  kerja sama antar unit untuk mendorong bagian-bagian dalam organisasi agar bekerja sama dalam inetaksanakan togas-ttigasnya.
e.     Management  support,  yaitu  tingkat  dukungan  dari  manajemen  dalam  arti sejauh     mana     para    pimpinan     memberikan     motivasi,     mengadakan ko m u n i k a si    y a ng    jelas,    b a ntu a n    ser t a    du kun gan    terh adap bawahannya.
f.     Control,    adalah    aturan-aturan    dan    pengawasan    langsung    yang dilakukan para pimpinan organisasi dalam mengendalikan perilaku bawahannya.
g.     Identity,  yaitu tingkat  rasa bangga  dari tipe individu  atau sejauh mana pegawai yang bersangkutan mengidentifikasikan  dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya.
h.     Reward Sistem, adalh tingkat alokasi imbalan (kompensasi) yang diberikan pada   para   pegawai   yang   didasarkan   alas   kriteria   prestasi,   bukan didasarkan atas sistem senioritas atau pilih kasih.
i.      Conflict  Tolerance,  yaitu  sejauh  mana  tingkat  dorongan  terhadap  pegawai
untuk mengemukakan konflik dan kririk secara terbuka.
j.     Communication    Patterns    (pol a-p o l a   k o m unik a si)    y a it u    pola komunikasi yang ada dalam organisasi atau sejauh mana tingkat komunikasi organisasi dibatasi oleh tingkatan (hierarki) kewenangan yang formal.
Steers (1985:201) menguraikan dimensi-dimensi budaya organisasi terdiri
dari: a) struktur tugas, b) hubungan imbalan hukum, c) tekanan pada prestasi, d) sentralisasi keputusan, e) keamanan versus resiko, f) keterbukaan versus ketertutupan, g) status dan scmangat, h) pengakuan dan umpan balik, dan i) kompetensi dan keluwesan organisasi secara umum.
Dari dimensi-dimensi budaya organisasi di atas, dimensi budaya organisasi Robbins akan diterjemahkan ke dalam indikator instrumen penelitian untuk mengungkap variabel budaya organisasi.
Dalam  budaya  organisasi,  menurut  Robbins  (1991:292-1993)  ada  budaya kuat melawan budaya lemah, budaya melawan formalisasi, dan budaya organisasi melawan budaya nasional.

Budaya  kuat  adalah  budaya  yang  nilai-nilai  intinya  dipegang  secara intensif dan dianut bersama secara meluas. Makin banyak pegawai yang menerima  nilai-nilai  inti dan makin besar komitmen  mereka pada nilai nilai itu, makin kuat budaya tersebut. Budaya kuat mempunyai dampak yang lebih besar kepada perilaku pegawai karcna tingginya tingkat kebersamaan (sharedness)     dan     intensitas     menciptakan     suatu     budaya     .internal dari.kendali  perilaku  yang  tinggi.  Su atu   buday a  or ga nisasi   y ang   ku at me n i ngk atkan  konsis tens i  p e r i l a k u ,  ar t i n y a  b u d a y a  y a n g  k u at  d a p a t b e r t in d a k  s e b a g a i  s u a t u  pengganti  untuk  for mulasi.  Fonnulasi  tingg i dala m     suatu     organisasi      menciptakan     kemampuan     untuk     diramal (predictability),  ketertiban,  dan  konsistensi.   Budaya  kuat  dapat  mencapai tujuan  akhir  yang  sama  tanpa  p e rlu  doku mentasi  ter t ulis .  Oleh  karen a itu,  for mulas i  d a n  bud ay a s e bag a i  d u a  jala n  y an g  berlain a n  ke  tujuan y an g s a ma . M ak i n k uat budaya organisasi; makin kurang manajemen itu perlu memperhatikan    pengembangan    aturan    dan    pengaturan    fonnal    untuk memandu perilaku pegawai.
Budaya   nasional   harus   dapat   diperhitungkan   jika   akan   membuat ramalan  yang  tepat  mengenai  budaya  organisasi.  Robbins  (1991:294) me n y a t a k a n   ba h w a   r i se t   me nu nj u k a n   b u da ya   n a si o n a l   me mp u n ya i dampak yang lebih besar kepada pegawai daripada budaya organisasi.
Fung si    buda y a    da lam    organi sasi    y a it u:   pertama,    bu da y a m e m p uny a i   suatu   p e ran   m e n e tapkan   tapal   batas,   artin y a   buda y a me nc i pt a k a n   pemb ed a a n   ya n g   j e l a s   a n t a ra   s a ri s   o r g a n i sa s i   d e n g a n lain ny a;  kedu a,  bu day a  me mb aw a  su atu  ras a  identitas   b agi  an ggo ta organisasi;   ketiga,   budaya   mempermudah   timbulnya   komitinen   pada sesuatu yang lebih luas dari pada kepentingan individu; keempat, budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial (Robbins 1991:294).
Kajian teori di atas, budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan  organisasi  dengan  memberikan  standar     yang  tepat  tentang sesuatu yang harus dikatakan atau dilakukan olch pegawai. Budaya berfungsi sebagai   mekanisme   pembuat   makna   dan   kendali   yang   memandu   dan membentuk   sikap   serta   perilaku   para   pegawai.   Budaya   meningkatkan komitmen organisasi dan meningkatkan konsistensi dan perilaku  pegawai.
Namun  demikian  aspek  budaya  yang  secara  potensial  bersifat disfungsional,   teristimewa   budaya   yang   kuat   pada   keefektifan   suatu organisasi   dapat   memperlemah   budaya   organisasi.   Robbins   (1991:295), meny ebutkan   aspek-aspek   buday a   y ang   bersifat   disfungsional   adalah sebagai berikut.
a.      Penghalang terhadap perubahan
Budaya merupakan suatu beban, bilamana nilai-nilai bersama tidak cocok meningkatkan keefektifan organisasi. Inii terjadi pada organisasi yang dinamis. Bila   lingkungan   mengalami   perubahan   yang  cepat,   budaya   yang  telah berakar  dari  organisasi  itu  mungkin  sudah  tidak  tepat  lagi.  Konsistensi perilaku merupakan suatu asset bag i sesuatu or g anisasi bila org anisasi itu me n g h a d a p i   s u a tu  lingkungan   yang  mantap.  Tetapi  konsistensi  itu  dapat membebani    org anis asi     itu     dan     me ny u litkan     untuk     me n a n ggapi p e ru b a h an- perubahan dalam lingkungan itu.



b.      Penghalang terhadap keanekaragaman
Adanya  pegawai  baru  yang  berlainan  karena  ras,  kelamin,  etnis,  atau perbedaan lain, tidak sama dengan mayoritas pegawai akan menciptakan  suatu paradoks. Pimpinan menginginkan pegawai baru itu menerima baik nilai budaya dan   organisasi   itu.   Bila   tidak,   kecil   kemungkinan    pegawai   itu   dapat beradaptasi.  Budaya  yang  kuat  m e rup a kan  t e k a n a n  y a ng  besa r  ba g i peg a wai   baru   untuk  menyesuaikan  diri  (konform).  Tentunya,  pegawai baru  membatasi  pada  rentang  nilai  dan  gaya  yang  dapat  diterimanya.  Oleh karena itu, buda y a  k u at  dapat  m e ru pakan  b e ba n  bila  b u d a y a  it u dengan efektif menyingkirkan kekuatan inti tersebut yang dibawa o r a n g - o r a n g den g a n latar b e lak a n g y a ng b e r l ainan k e dala m organisasi.

c. Penghalang terhadap merger dan pencaplokan

Aspek  ketiga  ini  tidak  ada  relevansinya  dengan  penelitian,  m a k a  t i d a k ak an    d i b a h a s.    D a lam    p e rkem b a ng ann y a    buda ya    organisasi    akan mengalami   benturan  dan  konflik  budaya.  Benturan  budaya   dan   konflik budaya merupakan  dua gejala budaya yang p e r i l a k u  d a n  r a g a m y a  b i s a s a m a   t e t a p i   m o t i f n y a   b e r b e d a   (Ndraha:1997:85).   Benturan   terjadi terutama antara nilai lama dengan nilai baru, tetapi konflik terjadi antar kekuatan.  Dalam  proses  k ont ak   b uda y a ,   perbed a a n   buda ya   sec a ra o b j e k t i f d a p a t menimbulkan benturan budaya, tetapi konflik budaya tidak harus terjadi dalam proses kontak budaya jika kontak itu soft. Konflik budaya adalah konflik nilai dan konflik nilai adalah gejala konflik kepent ingan.
Robbins menjelaskan  konflik budaya di bawah kondisi when cultures collide. Dijelaskan bahwa budaya an sick tidak ada yang baik dan tidak ada yang buruk. Konflik budaya timbul jika seseorang berinteraksi  dengan  orang lain y ang buday any a berbeda de ngan budaya sendiri.
Budaya kuat adalah budaya organisasi yang ideal. Kekuatan budaya mempengaruhi    intensitas    perilaku,    demikian    Sathe    (dalam    Ndraha
1997:122). Tiga ciri khas budaya kuat menurut Sathe adalah thickness, extent of sharing, dan clarify of ordering. Senada dengan S a t h e , R o b b i n s ( 1 9 9 0 : 4 5 2 ) me n g at ak an  " A  s t r o n g  c u l t u r e  i s  characterized by the organization's core values being intensely held, clealy ordered, and videly shared." Jadi, budaya kuat adalah budaya  .organisasi  yang  dipegang  semakin  intensif  (mendasar  dan kukuh), semakin luas dianut, semakin jelas disosialisasikan dan diwariskan. Semakin kuat budaya, semakin kuat efek terhadap lingkungan dan perilaku pegawai.

Budaya    organisasi    kuat   dapat    diukur    dari    ketiga    dimensinya: intensity–   kehebatan,   clarity-kejelasan,   dan  extencity-keluasan.   Jika  tiap dimensi   diberi   skala   rendah,   sedang,   dan  tinggi,   dan   masing-masing dimensi   dikombinasikan   dengan   tiap   skala,   terjadilah   tujuh   kualitikasi budaya organisasi kuat.
Teori-teori yang dikemukakan di atas, melandasi teori dalam penelitian ini. Budaya organisasi, dalam hal ini budaya pada institusi sekolah bergantung pada kuat lemalmya budaya sekolah itu sendiri, t e k a n a n - t e k a n a n d a r i a t a s a n , d a n ma mp u t i d ak n y a p ar a g u r u beradaptasi dengan lingkungan sekolah.
Tekanan  yang kuat dari atasan  menimbulkan  stress kerja guru, demikian juga  interpretasi  y ang  berlain an atas  instruksi  Dinas Pendidikan.  Kepala Sekolah yang menekankan budaya organisasi kuat akan mendapatkan efek bagi kepemimpinannya.
Masalah budaya organisasi  akan semakin kompleks  manakala  sekolah  itu dituntut akan adanya perubahan-perubahan. Sementara kepala sekolah atau sebagian   guru  belum  siap  dengan  perubahan.  Hal  tersebut  menimbulkan budaya organisasi di SMK tidak kondusif. Apalagi bila ada penempatan guru baru yang   berlatar    belakang    berbeda,    ada    tuntutan    ag ar    guru    tersebut me ny esuaikan   dengan  budaya  sekolah  yang  telah  terbina,  percik-percik permasalahan akan timbal dan hal sekecil ini.
Be rd asark a n    be b e ra pa    l a n d a s a n    d i a t a s,    pe nu li s    me nemu ka n b e b e r ap a  indikator  yang dijadikan  standar  untuk  mengukur  budaya  organisasi yaitu : (a) Individual  Initiative  (inisiatifindividual),  (b)Risk.tolerance  (toleransi terhadap tindakan beresiko), (c) Direction (pengarahan), (d) Integration (pengintegrasian), (e) Management support, (f) Control, (g) Identity, (h) Reward Sistem, (i) Conflict  Tolerance, (j) Communication Patterns (pola-pola komunikasi).