Budaya Organisasi
Budaya organisasi menurut John W. Newstrom (1997) pola atas asumsi, kepercayaan, nilai, dan norma yang mana dibagi kepada semua anggota organisasi. Budaya ini mungkin dengan sadar dibuat oleh anggota inti organisasi tersebut, atau ini mungkin terbentuk seiring perjalanan waktu organisasi tersebut. Ini merepresentasikan sebuah elemen pokok lingkungan kerja yangmana pekerja melaksanakan pekerjaan mereka. Budaya organisasi adalah sesuatu yang tidak terlihat, kita tidak dapat melihatnya atau menyentuhnya, tetapi ini hadir dan melekat. Seperti udara di dalam suatu ruangan, ini berada di sekeliling kita dan mempengaruhi segala sesuatu, itu terjadi dalam sebuah organisasi.
Budaya organisasi adalah penting bagi organisasi. Ini memberikan identitas organisasi untuk para pegawai, yaitu sebuah definisi visi organisasi. Ini juga sumber penting untuk stabilitas dan kontinyuitas organisasi, yang mana menjaga sebuah perasaan aman bagi anggotanya. Dalam waktu yang sama, pengetahuan budaya organisasi membantu anggota baru mengiterpetasikan apa yang harus dilakukan di dalam organisasi. Budaya organisasi juga membantu menstimulasiantusiasme anggota atau pegawai for melaksanakan tugasnya ( John W. Newstrom: 1997).
Ga gasa n m e m a ndan g orga nisa si sebagai buday a m e ru p a kan f enomena yang relatif baru. Organisasi hampir mirip dengan organisme b i o l ogi y a n g m e m p un y a i ke p r i ba di a n, b i sa t e ga r ata u fle k si be l , ti da k ram a h atau m e nduk ung, inov ati f at au konservat i f se rt a m e m p un y a i tujuan bukannya bergerak secara refleksi atau acak. Suatu organisasi biasanya memiliki satu atau lebih tujuan yang dinyatakan secara formal, disamping mempunyai tujuan informal dan tujuan terselubung yang dapat dibaca dari keputusan-keputusan dan tindakan organisasi (Yukl 1998:15).
Terdapat kesepakatan luas bahwa budaya organisasi merujuk kepada suatu sistem pengertian bersama yang dipegang oleh anggota-anggota suatu organisasi, yang membedakan organisasi tersebut dari organisasi lainnya. Sistem pengertian bersama ini, dalam pengamatan yang lebih seksama, merupakan serangkaian karakter penting yang menjadi nilai bagi suatu organisasi (Robbins
2002 : 279)
Me nurut Ro bbin s de fini si buda y a organisasi secara utuh jarang ditemukan, namun Robbins (1992:279) m e n g e m u k a k a n tujuh karakter utama, yang kesemuanya menjadi elemen-elemen penting suatu budaya organisasi.
1. Inovasi dan pengambilan risiko: Tingkat daya pendorong karyawan untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko.
2. Perhatian terhadap detail: Tingkat tuntutan terhadap karyawan untuk mampu memperlihatkan ketepatan, analisis, dan perhatian terhadap detail.
3. Orientasi terhadap hasil: Tingkat tuntutan terhadap manajemen untuk lebih memusatkan perhatian pada hasil, dibandingkan perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut.
4. Orientasi terhadap individu: Tingkat keputusan manajemen dalam mempertimbangkan efek-efek hasil terhadap individu yang ada di dalam organisasi.
5. Orientasi terhadap tim: Tingkat aktivitas pekerjaan yang diatur dalam tim, bukan secara perorangan.
6. Agresivitas: Tingkat tuntutan terhadap orang-orang agar berlaku agresif dan bersaing, dan tidak bersikap santai.
7. Stabilitas: Tingkat penekanan aktivitas organisasi dalam memper- tahankan status quo berbanding pertumbuhan.
Ketujuh karakteristik tersebut berlangsung kontinum dari yang rendah ke yang tinggi. Dengan menilai organisasi berdasarkan tujuan karakteristik akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi. Gambaran tersebut menjadi dasar pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi, bagaimana menyelesaikan urusan di dalamnya, dan harapan cara anggota berperilaku.
Budaya organisasi berhubungan dengan karyawan mempersepsikan karakteristik dari suatu budaya organisasi, bukan dengan rnenyukai budaya itu atau tidak. Hal ini perlu ditegaskan agar tidak rancu dengan kepuasan kerja. Oleh karena itu, budaya organisasi bersifat deskriptif.
Menurut Robbins (1991:292), jika organisasi tidak mempunyai budaya dominan dan tersusun hanya dari sangat banyak anak budaya, nilai budaya suatu organisasi sebagai suatu variable dependen akan sangat berkurang karena tidak ada penafsiran yang seragam atas sesuatu yang menggambarkan perilaku yang tepat dan tidak tepat.
Budaya dalam suatu organisasi dianggap sebagai sesuatu y ang abst r a k , na m un bud a y a organisasi m e m p un y a i d i m e ns i dengan karakteristik tertentu yang dapat didefinisikan dan diukur. Robbins (1991:573) berdasar pendapat Gordon & Cummings mengungkapkan beberapa dimensi yang membedakan tingkatan budaya suatu organisasi.
a. Individual Initiative (inisiatif individual), yaitu kemampuan kreativitas, inisiatif atau ketidaktergantungan individu dalam mengembangkan tugas- tugasnya dalam organisasi.
b. Risk tolerance (toleransi terhadap tindakan beresiko), adalah sejauh mana para pegawai dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif dan berani mengambil resiko.
c. Direction (pengarahan), yaitu arah yang diinginkan organisasi dengan menciptakan atau menentukan tujuan atau sasaran secara jelas dan harapan untuk mencapai prestasi.
d. Integration (pengintegrasian), ialah tingkat kerja sama antar unit untuk mendorong bagian-bagian dalam organisasi agar bekerja sama dalam inetaksanakan togas-ttigasnya.
e. Management support, yaitu tingkat dukungan dari manajemen dalam arti sejauh mana para pimpinan memberikan motivasi, mengadakan ko m u n i k a si y a ng jelas, b a ntu a n ser t a du kun gan terh adap bawahannya.
f. Control, adalah aturan-aturan dan pengawasan langsung yang dilakukan para pimpinan organisasi dalam mengendalikan perilaku bawahannya.
g. Identity, yaitu tingkat rasa bangga dari tipe individu atau sejauh mana pegawai yang bersangkutan mengidentifikasikan dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya.
h. Reward Sistem, adalh tingkat alokasi imbalan (kompensasi) yang diberikan pada para pegawai yang didasarkan alas kriteria prestasi, bukan didasarkan atas sistem senioritas atau pilih kasih.
i. Conflict Tolerance, yaitu sejauh mana tingkat dorongan terhadap pegawai
untuk mengemukakan konflik dan kririk secara terbuka.
j. Communication Patterns (pol a-p o l a k o m unik a si) y a it u pola komunikasi yang ada dalam organisasi atau sejauh mana tingkat komunikasi organisasi dibatasi oleh tingkatan (hierarki) kewenangan yang formal.
Steers (1985:201) menguraikan dimensi-dimensi budaya organisasi terdiri
dari: a) struktur tugas, b) hubungan imbalan hukum, c) tekanan pada prestasi, d) sentralisasi keputusan, e) keamanan versus resiko, f) keterbukaan versus ketertutupan, g) status dan scmangat, h) pengakuan dan umpan balik, dan i) kompetensi dan keluwesan organisasi secara umum.
Dari dimensi-dimensi budaya organisasi di atas, dimensi budaya organisasi Robbins akan diterjemahkan ke dalam indikator instrumen penelitian untuk mengungkap variabel budaya organisasi.
Dalam budaya organisasi, menurut Robbins (1991:292-1993) ada budaya kuat melawan budaya lemah, budaya melawan formalisasi, dan budaya organisasi melawan budaya nasional.
Budaya kuat adalah budaya yang nilai-nilai intinya dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas. Makin banyak pegawai yang menerima nilai-nilai inti dan makin besar komitmen mereka pada nilai nilai itu, makin kuat budaya tersebut. Budaya kuat mempunyai dampak yang lebih besar kepada perilaku pegawai karcna tingginya tingkat kebersamaan (sharedness) dan intensitas menciptakan suatu budaya .internal dari.kendali perilaku yang tinggi. Su atu buday a or ga nisasi y ang ku at me n i ngk atkan konsis tens i p e r i l a k u , ar t i n y a b u d a y a y a n g k u at d a p a t b e r t in d a k s e b a g a i s u a t u pengganti untuk for mulasi. Fonnulasi tingg i dala m suatu organisasi menciptakan kemampuan untuk diramal (predictability), ketertiban, dan konsistensi. Budaya kuat dapat mencapai tujuan akhir yang sama tanpa p e rlu doku mentasi ter t ulis . Oleh karen a itu, for mulas i d a n bud ay a s e bag a i d u a jala n y an g berlain a n ke tujuan y an g s a ma . M ak i n k uat budaya organisasi; makin kurang manajemen itu perlu memperhatikan pengembangan aturan dan pengaturan fonnal untuk memandu perilaku pegawai.
Budaya nasional harus dapat diperhitungkan jika akan membuat ramalan yang tepat mengenai budaya organisasi. Robbins (1991:294) me n y a t a k a n ba h w a r i se t me nu nj u k a n b u da ya n a si o n a l me mp u n ya i dampak yang lebih besar kepada pegawai daripada budaya organisasi.
Fung si buda y a da lam organi sasi y a it u: pertama, bu da y a m e m p uny a i suatu p e ran m e n e tapkan tapal batas, artin y a buda y a me nc i pt a k a n pemb ed a a n ya n g j e l a s a n t a ra s a ri s o r g a n i sa s i d e n g a n lain ny a; kedu a, bu day a me mb aw a su atu ras a identitas b agi an ggo ta organisasi; ketiga, budaya mempermudah timbulnya komitinen pada sesuatu yang lebih luas dari pada kepentingan individu; keempat, budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial (Robbins 1991:294).
Kajian teori di atas, budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi dengan memberikan standar yang tepat tentang sesuatu yang harus dikatakan atau dilakukan olch pegawai. Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para pegawai. Budaya meningkatkan komitmen organisasi dan meningkatkan konsistensi dan perilaku pegawai.
Namun demikian aspek budaya yang secara potensial bersifat disfungsional, teristimewa budaya yang kuat pada keefektifan suatu organisasi dapat memperlemah budaya organisasi. Robbins (1991:295), meny ebutkan aspek-aspek buday a y ang bersifat disfungsional adalah sebagai berikut.
a. Penghalang terhadap perubahan
Budaya merupakan suatu beban, bilamana nilai-nilai bersama tidak cocok meningkatkan keefektifan organisasi. Inii terjadi pada organisasi yang dinamis. Bila lingkungan mengalami perubahan yang cepat, budaya yang telah berakar dari organisasi itu mungkin sudah tidak tepat lagi. Konsistensi perilaku merupakan suatu asset bag i sesuatu or g anisasi bila org anisasi itu me n g h a d a p i s u a tu lingkungan yang mantap. Tetapi konsistensi itu dapat membebani org anis asi itu dan me ny u litkan untuk me n a n ggapi p e ru b a h an- perubahan dalam lingkungan itu.
b. Penghalang terhadap keanekaragaman
Adanya pegawai baru yang berlainan karena ras, kelamin, etnis, atau perbedaan lain, tidak sama dengan mayoritas pegawai akan menciptakan suatu paradoks. Pimpinan menginginkan pegawai baru itu menerima baik nilai budaya dan organisasi itu. Bila tidak, kecil kemungkinan pegawai itu dapat beradaptasi. Budaya yang kuat m e rup a kan t e k a n a n y a ng besa r ba g i peg a wai baru untuk menyesuaikan diri (konform). Tentunya, pegawai baru membatasi pada rentang nilai dan gaya yang dapat diterimanya. Oleh karena itu, buda y a k u at dapat m e ru pakan b e ba n bila b u d a y a it u dengan efektif menyingkirkan kekuatan inti tersebut yang dibawa o r a n g - o r a n g den g a n latar b e lak a n g y a ng b e r l ainan k e dala m organisasi.
c. Penghalang terhadap merger dan pencaplokan
Aspek ketiga ini tidak ada relevansinya dengan penelitian, m a k a t i d a k ak an d i b a h a s. D a lam p e rkem b a ng ann y a buda ya organisasi akan mengalami benturan dan konflik budaya. Benturan budaya dan konflik budaya merupakan dua gejala budaya yang p e r i l a k u d a n r a g a m y a b i s a s a m a t e t a p i m o t i f n y a b e r b e d a (Ndraha:1997:85). Benturan terjadi terutama antara nilai lama dengan nilai baru, tetapi konflik terjadi antar kekuatan. Dalam proses k ont ak b uda y a , perbed a a n buda ya sec a ra o b j e k t i f d a p a t menimbulkan benturan budaya, tetapi konflik budaya tidak harus terjadi dalam proses kontak budaya jika kontak itu soft. Konflik budaya adalah konflik nilai dan konflik nilai adalah gejala konflik kepent ingan.
Robbins menjelaskan konflik budaya di bawah kondisi when cultures collide. Dijelaskan bahwa budaya an sick tidak ada yang baik dan tidak ada yang buruk. Konflik budaya timbul jika seseorang berinteraksi dengan orang lain y ang buday any a berbeda de ngan budaya sendiri.
Budaya kuat adalah budaya organisasi yang ideal. Kekuatan budaya mempengaruhi intensitas perilaku, demikian Sathe (dalam Ndraha
1997:122). Tiga ciri khas budaya kuat menurut Sathe adalah thickness, extent of sharing, dan clarify of ordering. Senada dengan S a t h e , R o b b i n s ( 1 9 9 0 : 4 5 2 ) me n g at ak an " A s t r o n g c u l t u r e i s characterized by the organization's core values being intensely held, clealy ordered, and videly shared." Jadi, budaya kuat adalah budaya .organisasi yang dipegang semakin intensif (mendasar dan kukuh), semakin luas dianut, semakin jelas disosialisasikan dan diwariskan. Semakin kuat budaya, semakin kuat efek terhadap lingkungan dan perilaku pegawai.
Budaya organisasi kuat dapat diukur dari ketiga dimensinya: intensity– kehebatan, clarity-kejelasan, dan extencity-keluasan. Jika tiap dimensi diberi skala rendah, sedang, dan tinggi, dan masing-masing dimensi dikombinasikan dengan tiap skala, terjadilah tujuh kualitikasi budaya organisasi kuat.
Teori-teori yang dikemukakan di atas, melandasi teori dalam penelitian ini. Budaya organisasi, dalam hal ini budaya pada institusi sekolah bergantung pada kuat lemalmya budaya sekolah itu sendiri, t e k a n a n - t e k a n a n d a r i a t a s a n , d a n ma mp u t i d ak n y a p ar a g u r u beradaptasi dengan lingkungan sekolah.
Tekanan yang kuat dari atasan menimbulkan stress kerja guru, demikian juga interpretasi y ang berlain an atas instruksi Dinas Pendidikan. Kepala Sekolah yang menekankan budaya organisasi kuat akan mendapatkan efek bagi kepemimpinannya.
Masalah budaya organisasi akan semakin kompleks manakala sekolah itu dituntut akan adanya perubahan-perubahan. Sementara kepala sekolah atau sebagian guru belum siap dengan perubahan. Hal tersebut menimbulkan budaya organisasi di SMK tidak kondusif. Apalagi bila ada penempatan guru baru yang berlatar belakang berbeda, ada tuntutan ag ar guru tersebut me ny esuaikan dengan budaya sekolah yang telah terbina, percik-percik permasalahan akan timbal dan hal sekecil ini.
Be rd asark a n be b e ra pa l a n d a s a n d i a t a s, pe nu li s me nemu ka n b e b e r ap a indikator yang dijadikan standar untuk mengukur budaya organisasi yaitu : (a) Individual Initiative (inisiatifindividual), (b)Risk.tolerance (toleransi terhadap tindakan beresiko), (c) Direction (pengarahan), (d) Integration (pengintegrasian), (e) Management support, (f) Control, (g) Identity, (h) Reward Sistem, (i) Conflict Tolerance, (j) Communication Patterns (pola-pola komunikasi).
Budaya organisasi menurut John W. Newstrom (1997) pola atas asumsi, kepercayaan, nilai, dan norma yang mana dibagi kepada semua anggota organisasi. Budaya ini mungkin dengan sadar dibuat oleh anggota inti organisasi tersebut, atau ini mungkin terbentuk seiring perjalanan waktu organisasi tersebut. Ini merepresentasikan sebuah elemen pokok lingkungan kerja yangmana pekerja melaksanakan pekerjaan mereka. Budaya organisasi adalah sesuatu yang tidak terlihat, kita tidak dapat melihatnya atau menyentuhnya, tetapi ini hadir dan melekat. Seperti udara di dalam suatu ruangan, ini berada di sekeliling kita dan mempengaruhi segala sesuatu, itu terjadi dalam sebuah organisasi.
Budaya organisasi adalah penting bagi organisasi. Ini memberikan identitas organisasi untuk para pegawai, yaitu sebuah definisi visi organisasi. Ini juga sumber penting untuk stabilitas dan kontinyuitas organisasi, yang mana menjaga sebuah perasaan aman bagi anggotanya. Dalam waktu yang sama, pengetahuan budaya organisasi membantu anggota baru mengiterpetasikan apa yang harus dilakukan di dalam organisasi. Budaya organisasi juga membantu menstimulasiantusiasme anggota atau pegawai for melaksanakan tugasnya ( John W. Newstrom: 1997).
Ga gasa n m e m a ndan g orga nisa si sebagai buday a m e ru p a kan f enomena yang relatif baru. Organisasi hampir mirip dengan organisme b i o l ogi y a n g m e m p un y a i ke p r i ba di a n, b i sa t e ga r ata u fle k si be l , ti da k ram a h atau m e nduk ung, inov ati f at au konservat i f se rt a m e m p un y a i tujuan bukannya bergerak secara refleksi atau acak. Suatu organisasi biasanya memiliki satu atau lebih tujuan yang dinyatakan secara formal, disamping mempunyai tujuan informal dan tujuan terselubung yang dapat dibaca dari keputusan-keputusan dan tindakan organisasi (Yukl 1998:15).
Terdapat kesepakatan luas bahwa budaya organisasi merujuk kepada suatu sistem pengertian bersama yang dipegang oleh anggota-anggota suatu organisasi, yang membedakan organisasi tersebut dari organisasi lainnya. Sistem pengertian bersama ini, dalam pengamatan yang lebih seksama, merupakan serangkaian karakter penting yang menjadi nilai bagi suatu organisasi (Robbins
2002 : 279)
Me nurut Ro bbin s de fini si buda y a organisasi secara utuh jarang ditemukan, namun Robbins (1992:279) m e n g e m u k a k a n tujuh karakter utama, yang kesemuanya menjadi elemen-elemen penting suatu budaya organisasi.
1. Inovasi dan pengambilan risiko: Tingkat daya pendorong karyawan untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko.
2. Perhatian terhadap detail: Tingkat tuntutan terhadap karyawan untuk mampu memperlihatkan ketepatan, analisis, dan perhatian terhadap detail.
3. Orientasi terhadap hasil: Tingkat tuntutan terhadap manajemen untuk lebih memusatkan perhatian pada hasil, dibandingkan perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut.
4. Orientasi terhadap individu: Tingkat keputusan manajemen dalam mempertimbangkan efek-efek hasil terhadap individu yang ada di dalam organisasi.
5. Orientasi terhadap tim: Tingkat aktivitas pekerjaan yang diatur dalam tim, bukan secara perorangan.
6. Agresivitas: Tingkat tuntutan terhadap orang-orang agar berlaku agresif dan bersaing, dan tidak bersikap santai.
7. Stabilitas: Tingkat penekanan aktivitas organisasi dalam memper- tahankan status quo berbanding pertumbuhan.
Ketujuh karakteristik tersebut berlangsung kontinum dari yang rendah ke yang tinggi. Dengan menilai organisasi berdasarkan tujuan karakteristik akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi. Gambaran tersebut menjadi dasar pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi, bagaimana menyelesaikan urusan di dalamnya, dan harapan cara anggota berperilaku.
Budaya organisasi berhubungan dengan karyawan mempersepsikan karakteristik dari suatu budaya organisasi, bukan dengan rnenyukai budaya itu atau tidak. Hal ini perlu ditegaskan agar tidak rancu dengan kepuasan kerja. Oleh karena itu, budaya organisasi bersifat deskriptif.
Menurut Robbins (1991:292), jika organisasi tidak mempunyai budaya dominan dan tersusun hanya dari sangat banyak anak budaya, nilai budaya suatu organisasi sebagai suatu variable dependen akan sangat berkurang karena tidak ada penafsiran yang seragam atas sesuatu yang menggambarkan perilaku yang tepat dan tidak tepat.
Budaya dalam suatu organisasi dianggap sebagai sesuatu y ang abst r a k , na m un bud a y a organisasi m e m p un y a i d i m e ns i dengan karakteristik tertentu yang dapat didefinisikan dan diukur. Robbins (1991:573) berdasar pendapat Gordon & Cummings mengungkapkan beberapa dimensi yang membedakan tingkatan budaya suatu organisasi.
a. Individual Initiative (inisiatif individual), yaitu kemampuan kreativitas, inisiatif atau ketidaktergantungan individu dalam mengembangkan tugas- tugasnya dalam organisasi.
b. Risk tolerance (toleransi terhadap tindakan beresiko), adalah sejauh mana para pegawai dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif dan berani mengambil resiko.
c. Direction (pengarahan), yaitu arah yang diinginkan organisasi dengan menciptakan atau menentukan tujuan atau sasaran secara jelas dan harapan untuk mencapai prestasi.
d. Integration (pengintegrasian), ialah tingkat kerja sama antar unit untuk mendorong bagian-bagian dalam organisasi agar bekerja sama dalam inetaksanakan togas-ttigasnya.
e. Management support, yaitu tingkat dukungan dari manajemen dalam arti sejauh mana para pimpinan memberikan motivasi, mengadakan ko m u n i k a si y a ng jelas, b a ntu a n ser t a du kun gan terh adap bawahannya.
f. Control, adalah aturan-aturan dan pengawasan langsung yang dilakukan para pimpinan organisasi dalam mengendalikan perilaku bawahannya.
g. Identity, yaitu tingkat rasa bangga dari tipe individu atau sejauh mana pegawai yang bersangkutan mengidentifikasikan dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya.
h. Reward Sistem, adalh tingkat alokasi imbalan (kompensasi) yang diberikan pada para pegawai yang didasarkan alas kriteria prestasi, bukan didasarkan atas sistem senioritas atau pilih kasih.
i. Conflict Tolerance, yaitu sejauh mana tingkat dorongan terhadap pegawai
untuk mengemukakan konflik dan kririk secara terbuka.
j. Communication Patterns (pol a-p o l a k o m unik a si) y a it u pola komunikasi yang ada dalam organisasi atau sejauh mana tingkat komunikasi organisasi dibatasi oleh tingkatan (hierarki) kewenangan yang formal.
Steers (1985:201) menguraikan dimensi-dimensi budaya organisasi terdiri
dari: a) struktur tugas, b) hubungan imbalan hukum, c) tekanan pada prestasi, d) sentralisasi keputusan, e) keamanan versus resiko, f) keterbukaan versus ketertutupan, g) status dan scmangat, h) pengakuan dan umpan balik, dan i) kompetensi dan keluwesan organisasi secara umum.
Dari dimensi-dimensi budaya organisasi di atas, dimensi budaya organisasi Robbins akan diterjemahkan ke dalam indikator instrumen penelitian untuk mengungkap variabel budaya organisasi.
Dalam budaya organisasi, menurut Robbins (1991:292-1993) ada budaya kuat melawan budaya lemah, budaya melawan formalisasi, dan budaya organisasi melawan budaya nasional.
Budaya kuat adalah budaya yang nilai-nilai intinya dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas. Makin banyak pegawai yang menerima nilai-nilai inti dan makin besar komitmen mereka pada nilai nilai itu, makin kuat budaya tersebut. Budaya kuat mempunyai dampak yang lebih besar kepada perilaku pegawai karcna tingginya tingkat kebersamaan (sharedness) dan intensitas menciptakan suatu budaya .internal dari.kendali perilaku yang tinggi. Su atu buday a or ga nisasi y ang ku at me n i ngk atkan konsis tens i p e r i l a k u , ar t i n y a b u d a y a y a n g k u at d a p a t b e r t in d a k s e b a g a i s u a t u pengganti untuk for mulasi. Fonnulasi tingg i dala m suatu organisasi menciptakan kemampuan untuk diramal (predictability), ketertiban, dan konsistensi. Budaya kuat dapat mencapai tujuan akhir yang sama tanpa p e rlu doku mentasi ter t ulis . Oleh karen a itu, for mulas i d a n bud ay a s e bag a i d u a jala n y an g berlain a n ke tujuan y an g s a ma . M ak i n k uat budaya organisasi; makin kurang manajemen itu perlu memperhatikan pengembangan aturan dan pengaturan fonnal untuk memandu perilaku pegawai.
Budaya nasional harus dapat diperhitungkan jika akan membuat ramalan yang tepat mengenai budaya organisasi. Robbins (1991:294) me n y a t a k a n ba h w a r i se t me nu nj u k a n b u da ya n a si o n a l me mp u n ya i dampak yang lebih besar kepada pegawai daripada budaya organisasi.
Fung si buda y a da lam organi sasi y a it u: pertama, bu da y a m e m p uny a i suatu p e ran m e n e tapkan tapal batas, artin y a buda y a me nc i pt a k a n pemb ed a a n ya n g j e l a s a n t a ra s a ri s o r g a n i sa s i d e n g a n lain ny a; kedu a, bu day a me mb aw a su atu ras a identitas b agi an ggo ta organisasi; ketiga, budaya mempermudah timbulnya komitinen pada sesuatu yang lebih luas dari pada kepentingan individu; keempat, budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial (Robbins 1991:294).
Kajian teori di atas, budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi dengan memberikan standar yang tepat tentang sesuatu yang harus dikatakan atau dilakukan olch pegawai. Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para pegawai. Budaya meningkatkan komitmen organisasi dan meningkatkan konsistensi dan perilaku pegawai.
Namun demikian aspek budaya yang secara potensial bersifat disfungsional, teristimewa budaya yang kuat pada keefektifan suatu organisasi dapat memperlemah budaya organisasi. Robbins (1991:295), meny ebutkan aspek-aspek buday a y ang bersifat disfungsional adalah sebagai berikut.
a. Penghalang terhadap perubahan
Budaya merupakan suatu beban, bilamana nilai-nilai bersama tidak cocok meningkatkan keefektifan organisasi. Inii terjadi pada organisasi yang dinamis. Bila lingkungan mengalami perubahan yang cepat, budaya yang telah berakar dari organisasi itu mungkin sudah tidak tepat lagi. Konsistensi perilaku merupakan suatu asset bag i sesuatu or g anisasi bila org anisasi itu me n g h a d a p i s u a tu lingkungan yang mantap. Tetapi konsistensi itu dapat membebani org anis asi itu dan me ny u litkan untuk me n a n ggapi p e ru b a h an- perubahan dalam lingkungan itu.
b. Penghalang terhadap keanekaragaman
Adanya pegawai baru yang berlainan karena ras, kelamin, etnis, atau perbedaan lain, tidak sama dengan mayoritas pegawai akan menciptakan suatu paradoks. Pimpinan menginginkan pegawai baru itu menerima baik nilai budaya dan organisasi itu. Bila tidak, kecil kemungkinan pegawai itu dapat beradaptasi. Budaya yang kuat m e rup a kan t e k a n a n y a ng besa r ba g i peg a wai baru untuk menyesuaikan diri (konform). Tentunya, pegawai baru membatasi pada rentang nilai dan gaya yang dapat diterimanya. Oleh karena itu, buda y a k u at dapat m e ru pakan b e ba n bila b u d a y a it u dengan efektif menyingkirkan kekuatan inti tersebut yang dibawa o r a n g - o r a n g den g a n latar b e lak a n g y a ng b e r l ainan k e dala m organisasi.
c. Penghalang terhadap merger dan pencaplokan
Aspek ketiga ini tidak ada relevansinya dengan penelitian, m a k a t i d a k ak an d i b a h a s. D a lam p e rkem b a ng ann y a buda ya organisasi akan mengalami benturan dan konflik budaya. Benturan budaya dan konflik budaya merupakan dua gejala budaya yang p e r i l a k u d a n r a g a m y a b i s a s a m a t e t a p i m o t i f n y a b e r b e d a (Ndraha:1997:85). Benturan terjadi terutama antara nilai lama dengan nilai baru, tetapi konflik terjadi antar kekuatan. Dalam proses k ont ak b uda y a , perbed a a n buda ya sec a ra o b j e k t i f d a p a t menimbulkan benturan budaya, tetapi konflik budaya tidak harus terjadi dalam proses kontak budaya jika kontak itu soft. Konflik budaya adalah konflik nilai dan konflik nilai adalah gejala konflik kepent ingan.
Robbins menjelaskan konflik budaya di bawah kondisi when cultures collide. Dijelaskan bahwa budaya an sick tidak ada yang baik dan tidak ada yang buruk. Konflik budaya timbul jika seseorang berinteraksi dengan orang lain y ang buday any a berbeda de ngan budaya sendiri.
Budaya kuat adalah budaya organisasi yang ideal. Kekuatan budaya mempengaruhi intensitas perilaku, demikian Sathe (dalam Ndraha
1997:122). Tiga ciri khas budaya kuat menurut Sathe adalah thickness, extent of sharing, dan clarify of ordering. Senada dengan S a t h e , R o b b i n s ( 1 9 9 0 : 4 5 2 ) me n g at ak an " A s t r o n g c u l t u r e i s characterized by the organization's core values being intensely held, clealy ordered, and videly shared." Jadi, budaya kuat adalah budaya .organisasi yang dipegang semakin intensif (mendasar dan kukuh), semakin luas dianut, semakin jelas disosialisasikan dan diwariskan. Semakin kuat budaya, semakin kuat efek terhadap lingkungan dan perilaku pegawai.
Budaya organisasi kuat dapat diukur dari ketiga dimensinya: intensity– kehebatan, clarity-kejelasan, dan extencity-keluasan. Jika tiap dimensi diberi skala rendah, sedang, dan tinggi, dan masing-masing dimensi dikombinasikan dengan tiap skala, terjadilah tujuh kualitikasi budaya organisasi kuat.
Teori-teori yang dikemukakan di atas, melandasi teori dalam penelitian ini. Budaya organisasi, dalam hal ini budaya pada institusi sekolah bergantung pada kuat lemalmya budaya sekolah itu sendiri, t e k a n a n - t e k a n a n d a r i a t a s a n , d a n ma mp u t i d ak n y a p ar a g u r u beradaptasi dengan lingkungan sekolah.
Tekanan yang kuat dari atasan menimbulkan stress kerja guru, demikian juga interpretasi y ang berlain an atas instruksi Dinas Pendidikan. Kepala Sekolah yang menekankan budaya organisasi kuat akan mendapatkan efek bagi kepemimpinannya.
Masalah budaya organisasi akan semakin kompleks manakala sekolah itu dituntut akan adanya perubahan-perubahan. Sementara kepala sekolah atau sebagian guru belum siap dengan perubahan. Hal tersebut menimbulkan budaya organisasi di SMK tidak kondusif. Apalagi bila ada penempatan guru baru yang berlatar belakang berbeda, ada tuntutan ag ar guru tersebut me ny esuaikan dengan budaya sekolah yang telah terbina, percik-percik permasalahan akan timbal dan hal sekecil ini.
Be rd asark a n be b e ra pa l a n d a s a n d i a t a s, pe nu li s me nemu ka n b e b e r ap a indikator yang dijadikan standar untuk mengukur budaya organisasi yaitu : (a) Individual Initiative (inisiatifindividual), (b)Risk.tolerance (toleransi terhadap tindakan beresiko), (c) Direction (pengarahan), (d) Integration (pengintegrasian), (e) Management support, (f) Control, (g) Identity, (h) Reward Sistem, (i) Conflict Tolerance, (j) Communication Patterns (pola-pola komunikasi).
Social Plugin